Memahami Paradigma Penelitian

Pernahkah kawan-kawan pembaca mendengar istilah Paradigma Penelitian? Sudahkah kalian memahami tentang paradigma penelitian? Saya yakin ada di antara kawan-kawan yang pernah mendengar bahkan mempelajari, ataupun juga ada yang belum pernah sama sekali.

Pada artikel kali ini, saya akan mencoba mengupas tuntas perihal paradigma penelitian ini mulai dari definisi, serta keterkaitannya dengan dunia penelitian ilmiah. Oleh sebab itu, baca sampai selesai ya.

Tapi, pastikan dulu ya kallian udah baca mengenai penelitian ilmiah dan materi-materi sebelumnya, biar pemahamannya nyambung. hehe

Disclaimer: Membaca artikel ini membuat kalian 10 kali lipat lebih pusing dan kepala ngebul. Saya tidak bertanggung jawab apabila hal tersebut terjadi pada anda. wqwqwq

Definisi Paradigma

Paradigma (Paradigm) sering juga disebut perspektif (cara pandang) atau worldview (pandangan dunia) ataupun school of tought (aliran pemikiran, mazhab).

Paradigma itu sendiri dapat didefinisikan sebagai satu set proposisi yang menjelaskan bagaimana dunia dipahami, cara menyederhanakan kompleksitas dunia nyata, memberitahu peneliti dan para ilmuwan secara umum tentang apa yang dianggap penting, sah dan rasional. (Sarantakos, 1993).

Secara historis, istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962), dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970).

Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik.

Pendapat Kuhn tersebut selanjutnya dipertegas oleh oleh Friedrichs (1970) yang mengemukakan bahwa paradigma sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.

Pendapat lain diberikan oleh George Ritzer (1980) dengan menyatakan: “paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan”

Klasifikasi paradigma tersebut sebenarnya merupakan pemikiran-pemikiran teori organisasi yang diturunkan dari teori sosiologi, yaitu;

  • The Functionalist Paradigm
  • Interpretive Paradigm
  • Radical Humanist Paradigm, dan
  • Radical Structuralist Paradigm.

Masing-masing keempat paradigma tersebut memiliki karakternya sendiri-sendiri yang dapat dibedakan secara nyata.

Dari paradigma tersebut kemudian munurut Chua (1986) dalam bukunya yang berjudul Radical Development in Accounting Thought memodifikasi dalam tiga paradigma, yaitu;

  • The Functionalist Paradigm (Mainstream atau Positivist Perspective).
  • The Interpretive Paradigm, dan
  • The Critical Paradigm.

Masih menurut Chua (1986), pada perkembangannya, yang paling dominan menjadi dasar paradigma penelitian adalah Functionalist atau Positivist Paradigm. Pengaruh yang ditimbulkannya sangat dominan dan berkembang begitu pesat, sehingga cenderung menjadi arus utama (Mainstream).

Sehingga tidak heran jika pada akhirnya paradigma ini dinamakan paradigma arus utama (Mainstream Paradigm).

Memahami paradigma ini penting banget ya, soalnya paradigma ini terkait dengan pendekatan penelitian sebagaimana yang udah dibahas sebelumnya.

Jenis-jenis Paradigma Penelitian

Terkait dengan obyek material ilmu-ilmu sosial, ada dua aliran filsafat yang dominan dalam konteks ontologi, yaitu positivisme dan interpretivisme/ konstruktivisme.

Kedua aliran ini menjadi perspektif dalam penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Positivisme menjadi dasar untuk penelitian kuantitatif sedangkan interpretivisme menjadi dasar untuk penelitian kualitatif

Paradigma Fungsionalis/ Positivisme

Paradigma fungsionalis dicirikan oleh pandangan objektivis dari dunia organisasi dengan orientasi terhadap stabilitas atau pemeliharaan status quo; Cara pandang functionalist paradigm pada aspek ontologi, banyak dipengaruhi oleh physical realism yang melihat realitas sosial sebagai sesuatu yang objektif, berdiri secara independen diluar diri manusia (Burrell dan Morgan, 1979 ; Chua, 1986).

Menurut positivisme, obyek pengetahuan ilmiah harus empiris, keberadaannya harus dapat diketahui melalui panca indera manusia, oleh sebab itu teologi, logika dan matematika tidak dikategorikan sebagai pengetahuan ilmiah karena keberadaan obyek materialnya tidak dapat diketahui melalui panca indera manusia.

Dalam konteks ini, istilah “positivisme” didasarkan pada pengalaman, nyata, meyakinkan, empiris, bukan spekulatif.

Terkait dengan ciri positivisme, obyek material dalam pengetahuan ilmiah lazim disebut sebagai variabel, bukan gejala seperti pada interpretivisme/ konstruktivsime. Itu berarti bahwa obyek material ilmu pengetahuan harus dapat diukur secara obyektif.

Baca juga: Jenis-jenis Penelitian Ilmiah

Paradigma Interpretivisme/ Konstruktivisme

Istilah “interpretivisme” berkaitan dengan interpretasi, pemberian makna atas pengalaman orang. Menurut interpretivisme, obyek material ilmu-ilmu sosial tidak dapat direduksi menjadi data kuantitatif.

Alasannya adalah bahwa perilaku manusia, sebagai obyek materialnya, tidak dapat diperlakukan sebagai benda fisik. Manusia memiliki perasaan dan berpikir reflektif sehingga hakikat atau keberadaan perilakunya tidak dapat direduksi, tidak dapat diukur secara obyektif.

Untuk memahami, bukan untuk mengetahui, perilaku seseorang, kita harus mengeksplorasi dan mengidentifikasi makna yang melatari perilaku itu. Misalnya, variabel usia dalam penelitian kuantitatif lazim diukur dalam bentuk usia.

Menurut interpretivisme, usia yang sama dapat memiliki makna yang berbeda bagi orang yang berbeda sehingga perilaku tiap orang dapat menjadi berbeda terkait dengan usia yang sama itu.

Menurut interpretivisme, obyek material pengetahuan sosial (perilaku manusia) tidak boleh direduksi tapi harus dipandang sebagai satu keseluruhan, holistik, gestalt, serta mencakup makna yang terkandung dalam obyek itu.

Paradigma Penelitian dan Pendekatan Penelitian

Setiap pendekatan memiliki asumsi dasar yang berbeda. Asumsi dasar inilah yang kemudian memengaruhi perbedaan cara pandang peneliti terhadap sebuah fenomena dan juga proses penelitian secara keseluruhan.

Asumsi yang dimaksud adalah ontologi, epistemologi, serta aksiologi.

Ontologi

Ontologi merupakan representasi pengetahuan formal dengan seperangkat konsep dalam suatu gejala dan hubungan antara konsep-konsep yang ada dalam gejala tersebut (Gruber, 1993).

Ontologi juga digunakan untuk menjelaskan sifat dari gejala tersebut. Dalam ilmu sosial, gejala yang dimaksud adalah gejala sosial yang dilihat sebagai sesuatu yang nyata.

Orang yang menggunakan pendekatan kuantitatif akan melihat bahwa gejala sosial adalah gejala yang nyata.

Jadi, jika seseorang kehilangan uang karena isu tuyul, ini bukan dianggap sebagai sebuah gejala sosial karena sukar untuk dilihat dengan mata kepala.

Akan tetapi, jika nantinya dapat ditemukan suatu alat yang dapat melihat langsung tuyul dan banyak orang menyaksikan keberadaan tuyul sedang mengambil uang, itu akan menjadi suatu gejala yang dianggap nyata.

Epistemologi

Epistemologi merupakan studi tentang pengetahuan dan pembenaran. Sebagai studi tentang pengetahuan, epistemologi berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan.

Apa syarat perlu dan cukup dari pengetahuan?

Apa sumber-sumber pengetahuan?

Apa struktur dan batas-batasnya?

Sebagai studi tentang pembenaran, epistemologi bertujuan untuk menjawab pertanyaan:

Bagaimana kita memahami konsep pembenaran?

Apa yang membuat keyakinan dibenarkan, sedangkan yang lain tidak dibenarkan?

Dalam kaitannya dengan penelitian, epistemologi berbicara mengenai hakikat ilmu pengetahuan seperti yang telah diuraikan pada kalimat awal paragraf ini.

Jika dihubungkan dengan ontologi, pengetahuan yang dimaksud terkait dengan gejala yang nyata. Segala sesuatu yang dapat dipelajari oleh ilmu pengetahuan adalah sebuah objek.

Aksiologi

Istilah aksiologi merujuk pada bahasa Yunani, yaitu axios yang berarti nilai dan logos yang berarti logika atau teori. Aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Dalam melakukan sebuah penelitian, pendekatan kuantitatif didasarkan pada nilai.

Tujuan melakukan penelitian adalah menjelaskan sebuah gejala dan menemukan sebuah hukum yang universal. Pendekatan ini mencari penjelasan mengapa sebuah peristiwa terjadi dengan memakai pola-pola yang sudah ada.

Jika pola yang sudah ada tidak dapat dipakai untuk menjelaskan kejadian yang ada, dicari pola baru yang lebih universal sehingga dapat digunakan untuk menerangkan kejadian tersebut.

Paradigma Positivisme dan Pendekatan Kuantitatif

Penelitian kuantitatif dibangun berlandaskan paradigma positivisme dari August Comte (1798-1857).

Paradigma kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial.

Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge) yang valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason).

Hal ini sekaligus mengindikasikan, bahwa secara ontologis, obyek studi penelitian kuantitatif adalah fenomena dan hubungan-hubungan umum antara fenomena-fenomena (general relations between phenomena).

Yang dimaksud dengan fenomena di sini adalah sejalan dengan prinsip sensory experience yang terbatas pada external appearance given in sense perception saja. Karena pengetahuan itu bersumber dari fakta yang diperoleh melalui pancaindera, maka ilmu pengetahuan harus didasarkan pada eksperimen, induksi dan observasi.

Sejalan dengan penjelasan di atas, secara epistemologi, paradigma kuantitatif berpandangan bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional data empiris. Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan korespondensi.

Koheren besarti sesuai dengan teori-teori terdahulu, serta korespondens berarti sesuai dengan kenyataan empiris.

Kerangka pengembangan ilmu itu dimulai dari proses perumusan hipotesis yang deduksi dari teori, kemudian diuji kebenarannya melalui verifikasi untuk diproses lebih lanjut secara induktif menuju perumusan teori baru.

Jadi, secara epistemologis, pengembangan ilmu itu berputar mengikuti siklus; logico, hypothetico, verifikatif.

Paradigma Interpretivisme dan Pendekatan Kualitatif

Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya.

Jenis penelitian ini berlandaskan pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi.

Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial, dalam pandangan Weber, tingkah laku manusia yang tampak merupakan konsekuensi dari sejumlah pandangan atau doktrin yang hidup di kepala manusia pelakunya.

Jadi, ada sejumlah pengertian, batasan-batasan, atau kompleksitas makna yang hidup di kepala manusia pelaku, yang membentuk tingkah laku yang terkspresi secara eksplisit.

Dalam perkembangannya, belakangan ini nampaknya istilah penelitian kualitatif telah menjadi istilah yang dominan dan baku, meskipun mengacu pada istilah yang berbeda dengan pemberian karakteristik yang berbeda pula, namun bila dikaji lebih jauh semua itu lebih bersifat saling melengkapi/ memperluas dalam suatu bingkai metodologi penelitian kualitatif.

Kesimpulan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif

Meskipun dalam tataran praktis perbedaan antara keduanya seperti nampak sederhana dan hanya bersifat teknis, namun secara esensial keduanya mempunyai landasan epistemologis/ filosofis yang sangat berbeda.

Penelitian kuantitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili paham positivisme, sementara itu penelitian kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili paham naturalistik (fenomenologis).

Dua jenis penelitian tersebut memiliki perbedaan-perbedaan baik dalam tataran filosofis/ teoritis maupun dalam tataran praktis pelaksanaan  penelitian.

Dengan perbedaan tersebut akan nampak kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga seorang peneliti akan dapat lebih mudah memilih metode yang tepat dengan memperhatikan obyek penelitian/ masalah yang akan diteliti serta mengacu pada tujuan penelitian yang telah ditetapkan.

Ada ahli yang memposisikannya secara diametral, namun ada juga yang mencoba menggabungkannya baik dalam makna integratif maupun bersifat komplementer, sehingga membentuk pendekatan baru: Mix Methods.

Paradigma Pragmatisme dan Pendekatan Gabungan

Asumsi dasar yang digunakan antara metode kualitatif dan kuantitatif adalah penggabungan kelebihan dari masing-masing metode untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dalam menyelesaikan permasalahan penelitian dan menjawab pertanyaan dalam penelitian.

Mixed methods berfokus pada pengumpulan dan analisis data kuantitatif dan kualitatif yang dipadukan. Oleh karena itu, penelitian mixed methods terdiri dari penggabungan, perpaduan, hubungan, dan kelekatan dari keduanya.

Data yang diperoleh dalam pendekatan campuran merupakan data kuantitatif dan kualitatif.

Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan metode penelitian metode campuran adalah untuk menemukan hasil penelitian yang lebih baik dibandingkan dengan hanya menggunakan salah satu pendekatan saja (Creswell, 2012).

Menurut para ahli, paradigma yang tepat untuk pendekatan campuran adalah Paradigma Pragmatisme.

Paradigma pragmatisme ini memandang bahwa para peneliti harus menggunakan apa pun yang berhasil. Unsur terpenting dalam pembuatan keputusan tentang metode atau metode penelitian mana yang paling tepat menjawab permasalahan penelitian.

Pendekatan Gabungan secara  konseptual

Penelitian metode campuran adalah penelitian yang melibatkan penggunaan dua metode, yaitu metode kuantitatif dan metode kualitatif dalam studi tunggal.

Penggunaan dua metode ini dipandang lebih memberikan pemahaman yang lebih lengkap tentang masalah penelitian daripada penggunaan salah satu di antaranya.

Pendekatan ini melibatkan asumsi-asumsi filosofis, aplikasi pendekatan-pendekatan kualitatif dan kuantitatif, serta pencampuran (mixing) kedua pendekatan tersebut dalam satu penelitian.

Perbandingan Tiga Paradigma Penelitian

ParadigmaPositivismePragmatismekonstruktivisme/ Interpretatif
LogikaDeduktifDeduktif & InduktifInduktif
EpistemologiDualistik objektifObjektif & SubjektifSubjektif
AksiologiBebas nilaiNilai dipertimbangkan (pilih yang terbaik)Nilai terbatas
OntologiReaslime naifRealitasRelativiems

Bahan Bacaan
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The social construction of reality.
Burrell, G., & Morgan, G. (1979). Sociological paradigms and organizational analysis.
Chua, Wai Fong. (1986). Radical developments in accounting thought.
Deetz, S. A., & Kersten, A. (1983). Critical models of interpretive research.
Holland, R. (1990). The paradigm plague: Prevention, cure, and innoculation.
Jick, T. D. (1979). Mixing qualitative and quantitative methods.
Kirk, J. & Miller, M.I. (1986). Reability and Validity in Qualitative Research.
Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions.
Lincoln, Yvonna S. & Guba, Egon G. (1985). Naturalistic Inquiry.
Layder, D. (1982). Grounded theory: A constructive critique.
Moleong. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif.
Neuman, Lawrence W. (2003). Social Reseatch Methods.
Sarantakos, S. (1993). Social Research.
Yusuf. (2014). Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian.

Tinggalkan komentar